Senin, 13 Juli 2015

Pemimpin GKPS Berdarah Biru


Jan Horas V Purba
Pengantar Jemaat GKPS Bogor

Pendahuluan

Synode Bolon GKPS ke-42 sudah usai, Pimpinan Pusat GKPS 2015-2020 telah terpilih, yakni Pdt Marthin Rumanja Purba, MSi (Ephorus) dan Pdt Dr. Paul Ulrich Munthe (Sekjend), yang disambut baik dengan tulisan  Pdt Martin Lukito Sinaga  pada AB Edisi 491 Juli 2015.
“Pesta demokrasi” ini ternyata masih menyisakan sebuah percakapan, yakni sesuatu yang istimewa, karena pemilihan ini membawa kita ke Synode Bolon Tahun 1970, dan pimpinan GKPS saat ini mendapat gelar baru yakni Pemimpin “berdarah  biru”.
Pdt Marthin Rumanja Purba adalah putra dari Pdt Lesman Purba yang terpilih menjadi Ephorus GKPS dan Pdt Dr. Paul Ulrich Munthe adalah putra dari Pdt DR (HC) Armencius Munthe yang terpilih menjadi Sekjend GKPS.   Peristiwa yang sama terulang setelah 45 tahun.
Fenomena “darah biru” ini juga dikaitkan dengan Ephorus GKPS 2010-2015, Pdt Jaharianson Saragih, Ph.D yang merupakan Cucu dari Pdt J. Wismar Saragih, [wakil] Ephorus HKBPS Distrik Simalungun 10 tahun menjelang Panjaeon GKPS, demikian halnya dengan Pdt El Imanson Sumbayak, MTh juga putra dari Praeses Pdt W. Sumbayak, yang semuanya tergolong “darah biru”.

Seberapa Besar Faktor Darah Biru?

1.  Pekerjaan Rohani

Pemilihan Ephorus dan Sekjend GKPS mutlak atas campur tangan Tuhan. Sebagai sebuah institusi keagamaan, terdapat “the invisible hand” dan unsur transendental yang kuat dalam proses pemilihan pimpinan itu.  Ada kuasa dan campur tangan Tuhan dalam proses terpilihnya “Pemimpin yang diberkati”.  Dalam konteks ini, faktor darah biru bukan faktor penentu, dan semuanya tergantung pada keputusan Tuhan. Secara empiris, prediksi manusia selalu meleset. Manusia tidak mampu memprediksi keputusan Tuhan, karena ini Pekerjaan Tuhan dan bukan kalkulasi pikiran manusia.

2.  Pemilihan dengan Voting

Proses pemilihan itu dilakukan dengan Voting.  Secara teknis, Panitia menjamin sedemikian rupa mekanisme yang jujur dan tidak ada kecurangan sedikit pun, disertai Tim independent (non Peserta SB) khusus untuk menghitung suara.   Sistem Voting ini mengakar pada konsep demokrasi. Sang pemimpin harus mendapat dukungan mayoritas, yang diterjemahkan menjadi  ½ n + 1 [minimum].   
Meskipun sistem voting dilaksanakan dengan sebaik mungkin, metode ini tidak luput dari celah masuknya unsur kemanusiawian, terutama untuk memperbesar peluang kemenangan dengan mendapatkan dukungan suara sebanyak mungkin, mulai dari pendekatan person to person, membangun persepsi yang sama (khususnya bagi pemilih yang belum menentukan pilihan) hingga janji yang sifatnya transaksional, dlsb. Tidak ada yang salah dalam hal ini, karena ini adalah konsekuensi logis dari sebuah sistem voting. Maka, dalam kondisi demikian, sejauh manakah objektivitas sistem Voting untuk menghasilkan Pemimpin terbaik?  
Faktor yang paling menentukan adalah Pemimpin terbaik adalah keunggulan dan kompetensi yang dimiliki seorang kandidat.  Para Sinodisten dengan cerdas akan menghitung nilai plus dan nilai minus, kemudian menentukan pilihannya.  Hingga batas ini, faktor darah biru tidak menjadi faktor penentu.

3.  Hukum Probabilitas: Modifikasi Marjomput Nasinurat

Mencermati proses pemilihan di sejumlah Jemaat, ternyata sistem voting tidak selalu menghasilkan hasil yang win-win dan menggembirakan semua pihak.  Selalu win-loss, ada yang menang dan ada yang kalah. Di sana sini ada saja [peluang] perpecahan, kekecewaan, serta perbedaan pandangan antar blok, yang bahkan bisa permanen dalam jangka panjang, serta ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. 
Untuk mengatasi ekses negatif ini, di masa mendatang, diperlukan suatu keberanian untuk mengganti metode voting menjadi “Marjomput nasinurat [yang dimodifikasi]”.
Sangat bisa dimaklumi penolakan atas cara ini, Pertama, karena tidak sesuai dengan PRT dan Tata Tertib Pemilihan.  Marjomput nasinurat hanya dimungkikan sebagai jalan terakhir bila voting gagal dan dua kali berturut-turut menghasilkan jumlah suara yang sama; Kedua, sebagian besar peserta masih meyakini bahwa voting lebih objektif, logis dan reasonable. Ketiga, masih sulit keluar dari metode yang sudah mengakar selama puluhan tahun
Terobosan baru ini adalah sistem marjomput nasinurat yang dimodifikasi. Modifikasi artinya dilaklukan dalam 2 tahap.  Tahap pertama, menerima dan menggunakan voting untuk memilih tiga kandidat terbaik.  Setelah itu, dilanjutkan dengan metode marjomput nasinurat, yakni dengan memasukkan 1 kertas yang bertuliskan “Ahu ma lobei” dan dua lagi “ham ma lobei” – atau redaksi lain yang menggambarkan hanya 1 yang “terpilih” dan 2 yang  “tidak terpilih”.  Bila ini dilakukan, maka faktor penentu adalah “the invisible hand”.  Tergantung pada doa Jemaat dan doa pribadinya, dan campur tangan Tuhan.  Karena itu, tidak ada yang loss, semua happy dan menerima hasilnya sebagai keputusan Tuhan. Metode ini memberi peluang yang sama (apakah darah biru atau non darah biru) untuk terpilih.

4.  Faktor Darah Biru

Apakah darah biru itu salah?  Apakah melanggar prinsip fairness, dimana dengan adanya kandidat berdarah biru akan memperkecil peluang kandidat “non darah biru” untuk menang? Tidak ada yang salah dengan darah biru.  Keterpilihannya bukan karena darah birunya, tetapi karena kompetensi maupun keunggulannya.
Masuknya faktor darah biru, memiliki makna positif dari sisi sosiologis maupun historis.  Dari sisi  sosiologis, Simalungun memiliki keunikan yang disebut “ahap”.  Ahap sulit diterjemahkan secara harafiah, dan sesuatu yang mengakar begitu kuat dalam kepribadian orang Simalungun itu sendiri.  Sedangkan dari sisi historis, faktor darah biru mampu memberikan sebuah jaminan dan keyakinan bagi para pemilih, bahwa sang pemimpin akan menjalankan kepemimpinannya sebaik mungkin. Dari sisi historis, sudah ada “saham” dari generasi terdahulu, dan hal ini akan berfungsi menjadi motivasi khusus. Sisi lain, ia memunculkan “beban tersendiri” untuk menjaga nama baik keluarga. Hal ini positif bagi kemajuan GKPS.

Penutup

Pemimpin darah biru memiliki kharisma tersendiri, karena beliau secara alamiah DILAHIRKAN.  Secara genetis, ia mewarisi kelebihan bakat dan talenta, serta  bakat dari leluhurnya.  Sedangkan bagi yang bukan berdarah biru, (yakni tidak memiliki garis keturunan dan keterkaitan historis kepada Pemimpin-pemimpin terdahulu) mungkin saja sedang dipersiapkan Tuhan dan kemudian menjadi Pemimpin berdarah biru dimasa mendatang. Tuhan “sudah memilihnya sejak dalam kandungan”, dan ia memiliki berbagai ciri-ciri unggul dan kompeten dalam setiap penugasan yang diberikan kepadanya.
Kini menjadi jelas, tidak ada satu rumusan baku tentang hal itu dalam ber-GKPS, baik di Pusat hingga ke Pemilihan Pengantar Jemaat di tingkat Jemaat.  Dari uraian di atas, kita memiliki pandangan positif, bahwa tidak ada yang lebih diuntungkan atau dirugikan, semua memiliki hak yang sama secara berkeadilan, dan keputusan Final adalah hak mutlak Kristus Sang Empunya Gereja.

Lesson Learned

Uraian di atas hendak mengingatkan kita kembali pada ungkapan populer: “Pemimpin itu DICIPTAKAN dan bukan DILAHIRKAN”.  Ini adalah pernyataan yang memotivasi. GKPS tidak memiliki sistem pelapisan sosial dan kasta tertutup dalam menentukan Pemimpin.
  • Relevansinya dengan Thema GKPS 2015-2020, yakni “Memperkokoh Kualitas SDM dan Leadership”, maka pesan pembelajaran yang dapat kita petik adalah 
  • Inilah momentumnya agar GKPS peka dan semakin peka terhadap adanya krisis kepemimpinan di GKPS secara umum. Pada tingkat Jemaat pun, tidak mudah mendapatkan seorang Pengantar Jemaat. 
  • Setiap masa ada pemimpinnya. Rentang waktu pemimpin yang “DILAHIRKAN” membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun. Ketika Pdt J Wismar Saragih menjadi pemimpin HKBPS tahun 1952, diperlukan waktu 58 tahun untuk mewariskannya ke Cucunya: Pdt Jaharianson Saragih. Ketika Pdt J Wismar Saragih berpulang ke rumah Bapa di Sorga, bahkan saat itu Pdt Jaharianson Saragih masih berusia sekitar 5 setengah tahun. Demikian halnya dengan peristiwa SB ke-42 ini, memerlukan waktu 45 tahun untuk melakukan regenerasi kepemimpinan dari tahun 1970 ke 2015.
  • Maka, pembelajaran yang dapat diambil adalah, marilah kita MENCIPTAKAN Pemimpin dan tidak menunggu lahirnya pemimpin baru (selama puluhan tahun), baik di Pusat, Distrik, Resort dan Jemaat-jemaat, juga semua kepengurusan di GKPS. Dengan cara itu, GKPS akan bertumbuh dengan baik.

Terima kasih dan Semakin diberkatilah GKPS.