Minggu, 26 Juli 2015
Minggu, 19 Juli 2015
Senin, 13 Juli 2015
Pemimpin GKPS Berdarah Biru
Jan Horas V
Purba
Pengantar
Jemaat GKPS Bogor
Pendahuluan
Synode Bolon GKPS ke-42 sudah usai, Pimpinan Pusat GKPS 2015-2020 telah
terpilih, yakni Pdt Marthin Rumanja Purba, MSi (Ephorus) dan Pdt Dr. Paul
Ulrich Munthe (Sekjend), yang disambut baik dengan tulisan Pdt Martin Lukito Sinaga pada AB Edisi 491 Juli 2015.
“Pesta demokrasi” ini ternyata masih menyisakan sebuah percakapan,
yakni sesuatu yang istimewa, karena pemilihan ini membawa kita ke Synode Bolon
Tahun 1970, dan pimpinan GKPS saat ini mendapat gelar baru yakni Pemimpin “berdarah biru”.
Pdt Marthin Rumanja Purba adalah putra dari Pdt Lesman Purba yang
terpilih menjadi Ephorus GKPS dan Pdt Dr. Paul Ulrich Munthe adalah putra dari
Pdt DR (HC) Armencius Munthe yang terpilih menjadi Sekjend GKPS. Peristiwa yang sama terulang setelah 45
tahun.
Fenomena “darah biru” ini juga dikaitkan dengan Ephorus GKPS 2010-2015,
Pdt Jaharianson Saragih, Ph.D yang merupakan Cucu dari Pdt J. Wismar Saragih, [wakil] Ephorus HKBPS Distrik Simalungun 10 tahun menjelang Panjaeon GKPS, demikian
halnya dengan Pdt El Imanson Sumbayak, MTh juga putra dari Praeses Pdt W.
Sumbayak, yang semuanya tergolong “darah biru”.
Seberapa
Besar Faktor Darah Biru?
1. Pekerjaan Rohani
Pemilihan Ephorus dan Sekjend
GKPS mutlak atas campur tangan Tuhan. Sebagai sebuah institusi keagamaan,
terdapat “the invisible hand” dan unsur
transendental yang kuat dalam proses pemilihan pimpinan itu. Ada kuasa dan campur tangan Tuhan dalam proses
terpilihnya “Pemimpin yang diberkati”.
Dalam konteks ini, faktor darah biru bukan faktor penentu, dan semuanya
tergantung pada keputusan Tuhan. Secara empiris, prediksi manusia selalu
meleset. Manusia tidak mampu memprediksi keputusan Tuhan, karena ini Pekerjaan
Tuhan dan bukan kalkulasi pikiran manusia.
2. Pemilihan dengan Voting
Proses pemilihan itu dilakukan dengan
Voting. Secara teknis, Panitia menjamin sedemikian
rupa mekanisme yang jujur dan tidak ada kecurangan sedikit pun, disertai Tim independent (non Peserta SB) khusus untuk menghitung
suara. Sistem Voting ini mengakar pada konsep demokrasi.
Sang pemimpin harus mendapat dukungan mayoritas, yang diterjemahkan menjadi ½ n + 1 [minimum].
Meskipun sistem voting
dilaksanakan dengan sebaik mungkin, metode ini tidak luput dari celah masuknya
unsur kemanusiawian, terutama untuk memperbesar peluang kemenangan dengan
mendapatkan dukungan suara sebanyak mungkin, mulai dari pendekatan person to person, membangun persepsi yang sama (khususnya
bagi pemilih yang belum menentukan pilihan) hingga janji yang sifatnya
transaksional, dlsb. Tidak ada yang salah dalam hal ini, karena ini adalah
konsekuensi logis dari sebuah sistem voting. Maka, dalam kondisi demikian, sejauh
manakah objektivitas sistem Voting untuk menghasilkan Pemimpin terbaik?
Faktor yang paling menentukan
adalah Pemimpin terbaik adalah keunggulan dan kompetensi yang dimiliki seorang kandidat. Para Sinodisten dengan cerdas akan menghitung
nilai plus dan nilai minus, kemudian menentukan pilihannya. Hingga batas ini, faktor darah biru tidak menjadi
faktor penentu.
3. Hukum Probabilitas: Modifikasi Marjomput Nasinurat
Mencermati proses pemilihan di sejumlah
Jemaat, ternyata sistem voting tidak selalu menghasilkan hasil yang win-win dan menggembirakan semua pihak. Selalu win-loss, ada
yang menang dan ada yang kalah. Di sana sini ada saja [peluang] perpecahan,
kekecewaan, serta perbedaan pandangan antar blok, yang bahkan bisa permanen
dalam jangka panjang, serta ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan.
Untuk mengatasi ekses negatif
ini, di masa mendatang, diperlukan suatu keberanian untuk mengganti metode
voting menjadi “Marjomput nasinurat [yang
dimodifikasi]”.
Sangat bisa dimaklumi penolakan
atas cara ini, Pertama, karena tidak sesuai
dengan PRT dan Tata Tertib Pemilihan. Marjomput nasinurat hanya dimungkikan sebagai jalan terakhir
bila voting gagal dan dua kali berturut-turut menghasilkan jumlah suara yang
sama; Kedua, sebagian besar peserta masih
meyakini bahwa voting lebih objektif, logis dan reasonable.
Ketiga, masih sulit keluar dari metode
yang sudah mengakar selama puluhan tahun
Terobosan baru ini adalah
sistem marjomput nasinurat yang dimodifikasi.
Modifikasi artinya dilaklukan dalam 2 tahap.
Tahap pertama, menerima dan menggunakan voting untuk memilih tiga
kandidat terbaik. Setelah itu,
dilanjutkan dengan metode marjomput nasinurat,
yakni dengan memasukkan 1 kertas yang bertuliskan “Ahu ma lobei”
dan dua lagi “ham ma lobei” – atau redaksi lain
yang menggambarkan hanya 1 yang “terpilih” dan 2 yang “tidak terpilih”. Bila ini dilakukan, maka faktor penentu
adalah “the invisible hand”. Tergantung pada doa Jemaat dan doa pribadinya,
dan campur tangan Tuhan. Karena itu,
tidak ada yang loss, semua happy
dan menerima hasilnya sebagai keputusan Tuhan. Metode ini memberi peluang yang
sama (apakah darah biru atau non darah biru) untuk terpilih.
4. Faktor Darah Biru
Apakah darah biru itu
salah? Apakah melanggar prinsip fairness, dimana dengan adanya kandidat berdarah biru akan
memperkecil peluang kandidat “non darah biru” untuk menang? Tidak ada yang
salah dengan darah biru. Keterpilihannya
bukan karena darah birunya, tetapi karena kompetensi maupun keunggulannya.
Masuknya faktor darah biru, memiliki
makna positif dari sisi sosiologis maupun historis. Dari sisi
sosiologis, Simalungun memiliki keunikan yang disebut “ahap”. Ahap sulit
diterjemahkan secara harafiah, dan sesuatu yang mengakar begitu kuat dalam
kepribadian orang Simalungun itu sendiri.
Sedangkan dari sisi historis, faktor darah biru mampu memberikan sebuah
jaminan dan keyakinan bagi para pemilih, bahwa sang pemimpin akan menjalankan
kepemimpinannya sebaik mungkin. Dari sisi historis, sudah ada “saham” dari
generasi terdahulu, dan hal ini akan berfungsi menjadi motivasi khusus. Sisi
lain, ia memunculkan “beban tersendiri” untuk menjaga nama baik keluarga. Hal ini
positif bagi kemajuan GKPS.
Penutup
Pemimpin darah biru memiliki kharisma tersendiri, karena beliau secara
alamiah DILAHIRKAN. Secara genetis, ia
mewarisi kelebihan bakat dan talenta, serta bakat dari leluhurnya. Sedangkan bagi yang bukan berdarah biru,
(yakni tidak memiliki garis keturunan dan keterkaitan historis kepada
Pemimpin-pemimpin terdahulu) mungkin saja sedang dipersiapkan Tuhan dan
kemudian menjadi Pemimpin berdarah biru dimasa mendatang. Tuhan “sudah
memilihnya sejak dalam kandungan”, dan ia memiliki berbagai ciri-ciri unggul
dan kompeten dalam setiap penugasan yang diberikan kepadanya.
Kini menjadi jelas, tidak ada satu rumusan baku tentang hal itu dalam
ber-GKPS, baik di Pusat hingga ke Pemilihan Pengantar Jemaat di tingkat
Jemaat. Dari uraian di atas, kita
memiliki pandangan positif, bahwa tidak ada yang lebih diuntungkan atau dirugikan,
semua memiliki hak yang sama secara berkeadilan, dan keputusan Final adalah hak
mutlak Kristus Sang Empunya Gereja.
Lesson Learned
Uraian di atas hendak mengingatkan kita kembali pada ungkapan populer: “Pemimpin itu DICIPTAKAN dan bukan DILAHIRKAN”. Ini adalah pernyataan yang memotivasi. GKPS
tidak memiliki sistem pelapisan sosial dan kasta tertutup dalam menentukan
Pemimpin.
- Relevansinya dengan Thema GKPS 2015-2020, yakni “Memperkokoh Kualitas SDM dan Leadership”, maka pesan pembelajaran yang dapat kita petik adalah
- Inilah momentumnya agar GKPS peka dan semakin peka terhadap adanya krisis kepemimpinan di GKPS secara umum. Pada tingkat Jemaat pun, tidak mudah mendapatkan seorang Pengantar Jemaat.
- Setiap masa ada pemimpinnya. Rentang waktu pemimpin yang “DILAHIRKAN” membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun. Ketika Pdt J Wismar Saragih menjadi pemimpin HKBPS tahun 1952, diperlukan waktu 58 tahun untuk mewariskannya ke Cucunya: Pdt Jaharianson Saragih. Ketika Pdt J Wismar Saragih berpulang ke rumah Bapa di Sorga, bahkan saat itu Pdt Jaharianson Saragih masih berusia sekitar 5 setengah tahun. Demikian halnya dengan peristiwa SB ke-42 ini, memerlukan waktu 45 tahun untuk melakukan regenerasi kepemimpinan dari tahun 1970 ke 2015.
- Maka, pembelajaran yang dapat diambil adalah, marilah kita MENCIPTAKAN Pemimpin dan tidak menunggu lahirnya pemimpin baru (selama puluhan tahun), baik di Pusat, Distrik, Resort dan Jemaat-jemaat, juga semua kepengurusan di GKPS. Dengan cara itu, GKPS akan bertumbuh dengan baik.
Terima kasih dan Semakin diberkatilah GKPS.
Minggu, 05 Juli 2015
Langganan:
Postingan (Atom)